HOW MEMORY MESSED UP MY PERCEPTION
Halo rakyat indonesia. Kali ini gue bakalan bercerita tentang memori dan persepsi. Persepsi merupakan pengalaman yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi atau pesan Sedangkan memory adalah kemampuan untuk menyimpan informasi sehingga dapat digunakan dimasa yang akan datang.Pikiran manusia adalah pencipta makna.
Jadi pengalaman gue ini waktu gue masih dibangku SMK. Karena gue suka banget didunia videography dan lebih menjerumuskan diri ke perfilman. Gue selalu mencari tau seperti apa si film dibuat, gimana si tekhnik cinematography yang benar dan kayak gimana si cara buatnya untuk pemula. Dari situ gue udah mulai ikut seminar dan workshop gitu sekalian nyoba-nyoba kayak bagaimana si proses shot itu berlangsung sampe melajari cara pengoprasian kameranya. Setelah itu gue mencoba ikut kompetisi di Instagram video yang berdurasi 30 Detik. Mengiklankan suatu produk dengan basic cinematography. Hingga pada saatnya gue lumayan faham cara membungkus gambar yang baik dan lumayan benar. Dari tahun ketahun gue mengikuti style dan trend yang ada melihat perkembangan yang mungkin bisa gue buat ulang sebagai karya gue. Mulai dari melihat video di youtube sampe mengikuti komunitas.
Hingga ditahun 2017 gue merasa banyak sekali orang yang sok tahu menggunakan kata-kata perfilman kedalam karya mereka yang bisa dibilang tidak tepat dan cenderung salah. Mereka menggunakan kata-kata "cinematic" hanya sebagai patokan kalau itu adalah pengambilan gambar yang indah tanpa adanya arti atau makna didalam gambar, melainkan hanya video slow motion, mencari bokeh, gambar asal yang dikasih black bar serta kata-kata yang sok puitis. Tapi mereka tidak memahami makna arti "Cinematic" sebenarnya, fungsi black bar dan transisi yang benar. Jika kita mencari di Instagram dengan kata kunci #Cinematic maka kita bisa melihat sampah visual dengan gambar drop FPS serta color grad yang cenderung keruh. Hal ini dipengaruhi karena hypenya Vlogging didunia anak remaja seperti Vlog Chandra Liow, Agung Hapsah dkk. Mereka ingin menjadi seperti itu dan melihat visual cinematic tanpa memahami artinya dan menjadi salah faham.
Bisa kita simpulkan pikiran gue yang dulunya cinematic perfilman bisa di apply divideo luar dari box office malah justru berbalik menjadi aneh sendiri. Persepsi yang dimana Cinematic perfilman akan bisa masuk didunia digital malah menjadi absurd dengan video yang menganggu visual gue.
Jadi pengalaman gue ini waktu gue masih dibangku SMK. Karena gue suka banget didunia videography dan lebih menjerumuskan diri ke perfilman. Gue selalu mencari tau seperti apa si film dibuat, gimana si tekhnik cinematography yang benar dan kayak gimana si cara buatnya untuk pemula. Dari situ gue udah mulai ikut seminar dan workshop gitu sekalian nyoba-nyoba kayak bagaimana si proses shot itu berlangsung sampe melajari cara pengoprasian kameranya. Setelah itu gue mencoba ikut kompetisi di Instagram video yang berdurasi 30 Detik. Mengiklankan suatu produk dengan basic cinematography. Hingga pada saatnya gue lumayan faham cara membungkus gambar yang baik dan lumayan benar. Dari tahun ketahun gue mengikuti style dan trend yang ada melihat perkembangan yang mungkin bisa gue buat ulang sebagai karya gue. Mulai dari melihat video di youtube sampe mengikuti komunitas.
Hingga ditahun 2017 gue merasa banyak sekali orang yang sok tahu menggunakan kata-kata perfilman kedalam karya mereka yang bisa dibilang tidak tepat dan cenderung salah. Mereka menggunakan kata-kata "cinematic" hanya sebagai patokan kalau itu adalah pengambilan gambar yang indah tanpa adanya arti atau makna didalam gambar, melainkan hanya video slow motion, mencari bokeh, gambar asal yang dikasih black bar serta kata-kata yang sok puitis. Tapi mereka tidak memahami makna arti "Cinematic" sebenarnya, fungsi black bar dan transisi yang benar. Jika kita mencari di Instagram dengan kata kunci #Cinematic maka kita bisa melihat sampah visual dengan gambar drop FPS serta color grad yang cenderung keruh. Hal ini dipengaruhi karena hypenya Vlogging didunia anak remaja seperti Vlog Chandra Liow, Agung Hapsah dkk. Mereka ingin menjadi seperti itu dan melihat visual cinematic tanpa memahami artinya dan menjadi salah faham.
Bisa kita simpulkan pikiran gue yang dulunya cinematic perfilman bisa di apply divideo luar dari box office malah justru berbalik menjadi aneh sendiri. Persepsi yang dimana Cinematic perfilman akan bisa masuk didunia digital malah menjadi absurd dengan video yang menganggu visual gue.
Comments
Post a Comment